Minggu, 20 Maret 2011

Pengalamanku Bersama Leukimia (Cerpen)



Penderita Leukimia


“Kriiiiiiingggg…..!!!!!!”
Alarm itu terus berbunyi, membuatku sedikit tergaduh dalam susanana hening, nyaman dan nikmatnya melewati malam panjang yang berurai bulir-bulir mimpi. Tetapi ku langsung tersadar bahwa malam itu akan berakhir berganti dengan pagi yang cerah. Ku tatap jam telah menunjukkan pukul 5 pagi, dengan sedikit sempoyongan ku melangkahkan kaki menuju WC yang letaknya tak jauh dari kamarku. Ku lanjutkan dengan berwudhu’, dan shalat Subuh secara berjamaah di Masjid sebagaimana yang ku lakukan setiap harinya.

Pagi itu sungguh terasa berbeda, bahkan ketika sarapanpun ku sering tersenyum betapa bahagianya ku hari ini, aku tak tau mengapa, tapi setelah memikirkan dan meninjau lebih jauh, ku mendapatkan sebuah jawaban, bahwa hari ini ku akan berkinjung pada sebuah panti asuhan. Setelah semua makanan di piringku selesai ku lahap, ku segera bergerak menuju kamar dan memakai baju secepatnya. Tak lupa sebuah PIN nama yang bertuliskan “Habib” ku pasangkan didekat saku bajuku. Alhamdulillah ku sangat bersyukur dianugrahi nama tersebut, kata Orang tuaku, nama itu diambil dari bahasa arab yang berarti “Cinta”, tak berbeda dengan sifatku yang alhamdulillah selalu menebar senyum dan menebar kebahagiaan kepada setiap orang yang berjumpa denganku.


Pagi ini kami dari tim kesehatan akan berkunjung kepada sebuah Panti asuhan Aisya. Panti asuhan ini sedikit berbeda dengan panti-panti yang lain, alasannya karena panti ini berisikan anak-anak yang mengidap penyakit Leukimia. Mungkin sedikit informasi, penyakit leukemia adalah penyakit yang menyerang sel darah putih yang dikonsumsi oleh sumsung tulang. Dalam keadaan normal, sumsung tulang memproduksi sel darah putih saat tubuh memberikan sinyal bahwa saat itulah diperlukannya sel darah putih. Nah, masalahnya, bagi penderita leukemia, sum-sum tulang memproduksi sel darah putih yang abnormal, mungkin bisa secara berlebihan yang malah hanya akan menurunkan daya tahan tubuh pengidapnya.

Setelah melakukan perjalanan panjang selama 5jam, akhirnya kami bersama tim rombongan tiba di Panti Aisya . Panti ini memang terletak sedikit tersembunyi dibalik pedesaan, jadi tak heran kalau perjalanan kesana memakan waktu yang panjang.
“Huuuufffffffff……………..!!!” angin pedesaan yang sangat segar segera mengalir memenuhi paru-paruku. Membuat tubuhku kembali semangat setelah selama 5 jam dalam keadaan cape dan lelah. Ku rasa itu sedikit membantu. Tapi yang membuatku sangat terhibur adalah sambutan dari anak-anak panti yang menyambut rombongan kami dengan penuh suka cita dan canda tawa. Sejak dari rumah, kami telah mempersiapkan banyak boneka dan berbagai mainan bagi anak-anak panti. Hadiah yang kami bawa ludes dalam hitungan menit. Semua itu terganti dengan senyum, tawa dan canda mereka yang sangat hangat.

“Assalamualaikum bapak-bapak dan ibuk-ibuk, terima kasih atas kedatangannya, mari masuk…” sebuah sapaan lembut seorang ibu kepala pengurus panti membuyarkan lamunanku, dengan mantap ku langkahkan kakiku menuju ruang tamu yang terletak disudut bangunan. Didalam ruangan, ku bersama 5 orang kru yang lain melepas lelah sejenak, sembari bercerita tentang latar belakang berdirinya Panti ini. Setelah setengah jam melepas penat, kami diajak berkeliling oleh ibu pembimbing. Kami diajak ke kamar anak-anak, disana kami melihat beberapa anak yang sedang tertidur pulas, ada juga yang bermain kartu bersama teman-temannya, dan sebagian lagi berlari kejar-kejaran. Ketika menuju rumah sakit khusus Panti, Disana kami disambut hangat oleh ibu-ibu yang bertugas mengasuh dan mendidik anak-anak tersebut. Hingga akhirnya kami diajak  ke sebuah ruangan yang disana terpajang banyak foto, kalau diperkirakan sekitar belasan foto. Ibu pengawas menjelaskan bahwa foto anak-anak tersebut adalah foto dari anak-anak yang telah meninggal dunia. Ku tatap dengan teliti wajah-wajah mereka, begitu lucu dan menggemaskan. Tetapi begitu sedih karena diusia yang sangat dini, mereka telah merasakan sakit yang sangat.
“Assalamu’alaikum Om..!” sapa seorang anak kecil kepadaku
“Oh… Wa’alaikum salam dek…!” jawabku ramah
“Om lagi ngapain kesini om?” tanyanya
“Hmm… oom lagi ngadain kegiatan gitu dek, eh, namanya siapa?” tanyaku
“Satria Om….!” Jawabnya dengan senyum manis lesung pipitnya.
“Owhh.. satria… salam kenal ya, nama oom, om habib..!”
“Iya om habib…!! Satria main dulu ya..!” seraya pergi dari pandangaku.

Setelah acara selesai, kami diantarkan menuju kamar masing-masing yang telah dipersiapkan sebelumnya, beberapa dari kami telah tertidur pulas karena kecapean yang sangat. Tetapi saya sendiri sejujurnya masih penasaran dengan seorang anak yang menemui saya tadi. Tanpa pikir panjang, saya berjalan menuju kamar anak-anak, tidak sulit memang karena tadi siang kami telah diberi tahu oleh ibu pengawas sebelumnya. Setiba disana, salah seorang Ibu pengawas yang lagi berkeliling menemui saya
“Ada yang bisa ibuk bantu nak..?”
“Oh.. begini buk, saya Cuma ingin melihat-lihat situasi anak-anak saja. Percuma saya datang kesini tapi tidak berkeliling melihat keadaan anak-anak sini..” jawabku basa-basi
“Oh, ya nak, mari ikut ibuk..” seraya tersenyum kepadaku

Ketika berjalan, ku beranikan diri bertanya tentang anak yang ku tanya tadi;
“Maaf buk, saya mau tanya..?!”
“Mau tanya apa nak..?”
“Begini buk, apakah ibu mengenal seorang anak yang bernama Satria?”

Setelah berfikir beberapa saat, ibu itu menunjukkan ekspresi yang seolah-olah hendak mengatakan “Ya”
“Oh.. Satria nak, kenal… dia salah seorang anak-anak disini yang sedang menajalani proses pengobatan..”
“Hmm, kalau saya boleh tau, memangnya dia terkena penyakit leukemia juga ya buk?”
“Ya nak, dia adalah salah seorang anak disini yang telah mnderita penyakit leukemia stadium 4”
Dahiku berkerut, “Lho… kok bisa separah itu buk?”
“Satria berasal dari keluarga yang kurang mampu, kedua orang tuanya ingin mengobati penyakit anaknya, tapi karena ketidak  tersediaan biaya, penyakit itu hanya diobati dirumah saja. Karena penyakit anaknya kian parah, keluarganya mengantarkannya kemari beberapa minggu yang lalu. Setelah diperiksa, Satria sudah sampai pada stadium 3” jelasnya panjang lebar.

Sejenak pikiranku kosong, terbayang bagaimana anak sekecil itu harus menderita karena penyakit yang dideritanya. Apalagi karena ketidak tersediaan biaya membuatnya harus kuat bertempur dengan rasa sakit yang tiba-tiba siap menyerang tubuhnya. Malam itu ku pamit dengan ibu tersebut dan kembali ke kamar dengan berbagai pertanyaan, pernyataan dan perasaan yang sulit untuk diungkapkan.

Keesokan harinya, saat ku bersama kru lain mengadakan penelitian diPanti tersebut, ku melihat Satria sedang bermain dengan temannya yang lain. Dengan tidak malu-malu ku panggil namanya…
“Satriaaaa….!!!!” Teriakku sedikit keras
Iapun menoleh kepadaku, dan berlari kearahku.
“Ada apa om?” tanyanya
“Nggak ada dek, bg nanti mau ngomong sama kamu, gak apa-apa kan..?”
Dengan senyum manisnya, iapun menjawab:
“iyaa….!” Dan dengan sedikit basa-basi ia memohon balik kepada teman-temannya.

Malam harinya ku berjalan sendiri, menatap suasana malam yang gelap, hutan yang kelam dan dingin yang menusuk. ditambah suara binatang-binatang malam cukuplah rasanya menemani kesendirianku yang sedang bermenung malam itu. Beberapa saat, ada seseorang yang menepuk pundakku sekaligus memberikan salam
“Assalamu’alaikum om habib..” melihat wajahnya, ku bisa langsung menebak kalau ini adalah satria
“Wa’alaikum salam, mari duduk..”
“Bagaimana kabarnya dek? Baik?” sambungku
“Alhamdulillah baik om, oya, katanya tadi siang mau ngajak satria ngomong, apa tuh om?” tanyanya polos
Beberapa saat ku tersenyum, tapi langsung ku memberikan tanggapan:
“Satria umurnya berapa?”
“8, om..!” jawabnya santai
“Satria kok bisa ada di Panti ini?” tanyaku sedikit menatap dalam matanya

Awalnya ia sedikit tertunduk lesu disampingku, tapi kemudian ia berusaha untuk tegar sekaligus menatap dalam mataku
“Satria kena penyakit leukimia, om..!” jawabnya mantap
“Kemaren om tanya sama ibu pembimbing katanya kamu udah stadium 4, apa benar dek..?”
“Iya om..!” jawabnya lagi
“Apa yang adek rasakan?” tanyaku lagi
“Ya… walaupun kadang sering sakit, tapi biasa aja om.. ku juga udah biasa.. sekarang yang harus ku lakukan ya bagaimana agar hidup ku ini bisa membawa kebahagiaan dan semangat bagi orang lain” jawabnya mantap

Ku begitu tertegun dengan anak ini. Kami melanjutkan obrolan kami. Tertawa bersama, bercanda, berkelakar dan berbagi pengalaman besama. Sesekali ku lihat sibakan bajunya yang tertiup angin, tampak merah-merah bekas darah yang menggumpal dibadannya. Penyakit leukemia memang seperti itu, daya tahan tubuh manusia kian melemah seiring berjalannya waktu. Tapi ku lihat semangat yang dimiliki satria tak pernah redup. Ku bisa mengambil pelajaran bahwa seorang anak yang telah di vonuis memiliki penyakit stadium 4 sekalipun masih bisa bersemangat dan membahagiakan orang lain.

Kami saat itu terasa sangat dekat. Satria yang awalnya merasa sedikit segan berjalan dan bercanda besamaku sekarang sudah mulai membiasakan diri. Kami benar-benar seperti seorang adik dan kakak. Kadang ketika makan siang, kami makan bersama. Kru-kru yang lain kadang tertawa melihat tingkah kami yang sering bercanda. Dia memang benar-benar memberiku kebahagiaan dan semangat.  Sewaktu bercerita, dia banyak menceritakan bagaimana kehidupannnya dikampung bersama kedua orang tuanya. Ia tak bisa melakukan pekerjaan yang berat karena sakit yang dideritanya.

Ku merasakan kasihan pada sosok kecil yang  berada disampingku. Kadang ia sering melakukan pemerikasaan rutin, diinfus dan dibius untuk menghilangkan rasa sakit yang ia derita. Stadium 4 adalah stadium yang sangat sulit disembuhkan. Sangat jarang ada pasien yang bisa lepas dari jeratan leukemia apabila telah melewati stadium ini. Daya tahan tubuhnya akan benar-benar buruk. Tapi tidak ku lihat pada satria. Sosok kecil yang memang pantas disebut Ksatria, karena dengan keadaan tubuh seperti ini, ia masih bisa melebarkan senyum dan mengulurkan tangan pada orang yang membutuhkan.

Pagi itu ku berusaha melepas penat dengan cara duduk-duduk disebuah taman bunga, walaupun disiang hari, tetapi udara dingin memang tak pernah pergi. Ku bandingkan dengan suasana kota yang panas, walapun dimalam hari, kipas angina tak pernah berhenti beroperasi. Namun saat memandang kearah bangunan diujung panti, ku lihat sesosok anak kecil datang mendekat kearahku. Setelah cukup dekat, ku bisa langsung menebak kalau ini adalah Satria. Dengan langkah sayu tapi dengan senyum manisnya ia menghampiriku. Ku tatap wajahnya yang pucat pasi, tangannya yang kurus menggapai pundakku. Ia mengatakan kalau beberapa hari lagi ia akan pulang. Ia akan pulang dan bisa bermain kembali. Ia mengataklan bahwa ia ingin membantu kedua orang tuanya di ladang. Ia tidak ingin membuat repot semua orang atas derita yang ia rasakan.

Aku pun terkejut. Apakah ia benar-benar telah sembuh total..? tak ada yang tak mungkin. Semua penyakit itu ada obatnya. Walau batinku tetap menidakkan, tapi ku tetap berusaha  mengiyakan. Semoga saja apa yang dikatakan Satria memang benar apa adanya. Dengan mata sayunya, ia berujar padaku bahwa jika ia pulang nanti, ku akan selalu tersenyum, apapun itu, ku harus tersenyum , karena dengan senyuman, hidup yang sulit akan terasa mudah. Dan hidup yang sakit, akan terasa sehat. Kata-kata itu benar-benar membuatku tertegun. Anak sekecil itu memiliki kekuatan mental dan pemikiran yang dewasa. Ku tersenyum puas dan kami melanjutkan obrolan bersama.

“Huffff……..!!!” ku menghela nafas panjang.
Siap-siap berkemas menyusun barang. 3 hari disini sudah cukuplah rasanya untuk mengetahui bagaimana perkembangan kehidupan ana-anak yang mengidap leukemia. Penyakit itu bisa disembuhkan, tergantung bagaimana daya tahan tubuh si pengidap, dan tingkat keparahan penyakitnya. Sepertinya, laporan-laporan yang ku buat juga telah ku kemas baik-baik. Sedan putih yang terparkir digarasi juga telah dikeluarkan, semua orang sudah bersiap-siap untuk berangkat.
“Anak-anak…. Kumpul dilapangan…!!” sahut ibuk pengawas mengumpulkan anak-anak. Ku rasa ini adalah sesi dan ajang foto-foto. Tapi kenapa Satria tidak ku lihat. Ku lihat baik-baik diantara anak-anak kecil yang tersenyum manis, ku julurkan leherku kekanan, kiri dan atas berusah mencari sosok Satria yang ku rasa dialah adik yang terdekat selama ku berada disana.
“Tapi tak apalah, mungkin lagi chek up atau masih tertidur” tegunku.

Kamera digital telah berada ditanganku. Teman-teman se kru telah berkumpul semua, anak-anak dengan barisan rapi telah siap untuk difoto.
“1………….. 2…………. 3…………..!!!, Senyuuuummmm…!!!!!” Kliikk…!!!!
“Siipp..!!!” sambil menatap hasil gambarku.

Tak lupa kami dari tim menyumbangkan dana Rp 20 Juta untuk Panti Asuhan Aisya. Sekarang giliran temanku yang mengambil gambar. Pada kesempatan ini, ku sempatkan untuk berkeliling sebentar, melepas kerinduan melihat suasana panti, rumah sakit dan beberpa ruangan yang diperlihatkan kepada kami. Tentu mungkin juga mencari Satria untuk pamit pulang karena tak mungkin rasanya ku pulang tanpa memberi kabar kepadanya.

Ku berjalan ke kamar, kemudian ke Rumah sakit, hingga akhirnya ku berada diruangan dimana disana terpajang foto-foto anak-anak pengidap penyakit leukemia yang telah meninggal. Ku tatap mulai dari awal, menengah, terus hingga ke akhir. Ku tatap wajah-wajah lucu yang kini hanyalah sebuah gambar membiaskan senyum-senyum indah dibibir mereka. Foto-foto itu terusssssss ku lihat hingga akhirnya tiba diujung. Disaat inilah tubuhku bergetar kuat. Dadaku sesak dan pikiranku kacau. Kantong air mataku seolah mendapat sinyal dari otak saat itulah hormon-hormon air mataku diproduksi, semakin banyak, banyak dan banyak hingga akhirnya menitik membentuk sebuah anak sungai di pipiku. Telapak tangan ku remas, pandanganku menjadi lesu, menatap sebuah gambar yang ku rasa tak asing lagi bagiku. Anak itulah yang selalu dekat bersamaku, menemani kesendirianku. Membuatku tertawa atas humornya, yang selalu berbagi kebahagiaan kepada orang-orang disekitarnya.

Ku tatap dengan teliti karena mataku mulai kabur tetutupi air mata, dengan lirih, mulutku mengatakan sebuah nama, sulit memang, tapi tetap ku paksakan….
“Sssaaaattriiiaaaaa………….!!!!!” Yah.. Satria….. adik kecil yang baru kemaren bersamaku kini hanyalah sebuah foto yang dipampang di dinding sana. Apakah ini yang disebut pulang..? ku teringat kata-kata yang sempat ia ucakan kemaren. Pikiranku kacau, ku tatap dalam matanya, wajah lesu namun berseri itu turut menatap mataku. Aku menangis dan bersedih, kehilangan seorang adik yang sangat bersemangat seperti dia. Ku tak sanggup, namun tetap ku balas senyumannya, pada sebuah foto yang baru saja dipampang itu.

Kian menit berlalu, Hpku berbunyi, kru lain sedang menantiku diluar sana. Pertanda ku harus secepatnya pulang. Ku beri kesempatan ntuk mencium fotonya, ku berharap suatu saat nanti ku bisa bertemu lagi dengan anak-anak lain yang memiliki semangat seperti dia. Tatapan terakhir ku berikan dan berlari menuju keluar, tempat dimana teman-teman kru lain berada.

“Dadain dong om-om dan tante-tantenya…!!!” sahut guru-guru Panti memberikan aba-aba kepada anak-anak disana.

Kami hanya tersenyum dari balik jendela. Kami lambaikan tangan dan ucapan terima kasih yang sangat karena telah memberikan sarana bagi kami disini. Menitpun berlalu, saatnya kami pergi, seiring mulai bergeraknya mobil kami. Lambaian anak-anak semakin cepat melepas kepergian kami yang mulai bergerak menjauh dari panti. Ku tatap sekali lagi tatapan mata anak-anak yang mulai menagis melepas kepergian kami. Ku tatap satu persatu muka mereka hingga seluruh Susana hilang terhalang pepohonan hutan…

“Itulah hidup, sesulit apapun hidup, selalulah untuk tersenyum, karena dengan senyuman, hidup yang susah akan terasa mudah, hidup yang sakit, akan terasa sehat. Selalulah menebar kebahagiaan, dimanapun dan kapanpun kita berada…”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar