Kamis, 17 Maret 2011

Negeri Sakura Hanya Layu

Negeri Sakura Hanya Layu

Kamis, 17 Maret 2011 - 14:43 wib


MENGERIKAN,  itulah kalimat yang bisa menggambarkan situasi gempa sebesar 8,9 SR yang menghentakkan Jepang.

Kemudian tsunami setinggi hingga 10 meter datang menyapu pesisir utara Jepang. Seketika semuanya luluh lantak. Belum juga selesai, pendingin reaktor pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) Fukushima, meledak. Ratusan ribu warga di radius 20 kilometer dari pembangkit itu, langsung diinstruksikan bedol desa. 


Jepang pun dikhawatirkan akan mengalami gagal nuklir yang mampu berimbas luas. Gelombang radiasi nuklir meningkat tajam dan mengancam setiap mahluk hidup.

Tidak hanya itu. Situasi gentingan di Ranah Sakura itu juga menghentakan pasar primer dan sekunder.  Jelas saja, Jepang merupakan negara simpul ekonomi nomor dua di dunia, setelah Amerika.

Seketika, indeks Nikkei langsung lunglai 1,7 persen diikuti bursa di pasar global, termasuk indeks harga saham gabungan (IHSG) yang terkoreksi 1,27 persen ke posisi 3.542,23. Yen juga sempat tenggelam terhadap sejumlah mata uang utama dunia. Itu adalah imbas ekonomi yang nyata.

Secara laten, bencana itu juga mengubah peta ekonomi dunia. Jepang sebagai poros ekonomi tentu akan mengalami guncangan. Apalagi Jepang merupakan kiblat ekspor dan impor dunia.

Kontribusi Jepang lebih dari 60 persen nilai barang dan jasa yang dihasilkan di Asia. Ini sama saja dengan 10 kali dari produksi Korea dan 20 kali lebih dari Indonesia.

Tahu ekonominya goyah, pemerintah Jepang tidak tinggal diam. Melalui kebijakan moneternya, Bank of Japan menyuntik dana segar 65 triliun  yen, demi menyelamatkan pasar. Secara kasat mata, boleh jadi sebagian Jepang kini memang porak-poranda. Tapi secara fundamental, mereka tetap kokoh.

Sejarah mencatat, bahwa bencana alam seperti itu tidak meninggalkan kerusakan permanen pada ekonomi Jepang meskipun efek jangka pendek besar pengaruhnya. Taksiran awal kerugian dari bencana ini bisa mencapai USD35 miliar.

Sejumlah perusahaan investasi papan atas pun meramalkan kondisi ini, tidak akan mempengaruhi dalam jangka panjang. Sebut saja Merrill Lynch Wealth Management dan M&G Investments, secara umum keduanya meyakini pejabat ekonomi Jepang juga akan melakukan tanggap ekonomi.

Seperti bunga Sakura yang berguguran, tetapi pohonnya tetap kokoh.

Persoalannya, bagaimana Indonesia menangkap situasi ini menjadi peluang. Toh, paradigma perdagangan menempatkan keuntungan sebagai tujuan utama?

Bukan bermaksud menari-nari di atas penderitaan orang, tetapi bagi Indonesia inilah momentum yang perlu diselamatkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar